waktu adalah ibadah....!!!!

contoh surat untuk memutus hubungan pacaran,lantaran Taubat..

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
Ba’da tahmid dan shalawat…

Ini adalah segores surat minimalis dari seorang ukhti yang mendapat hidayah dari Tuhannya dan bertaubat dari jalan maksiat dengan menghentikan hubungan haram bernama PACARAN !

Jika menurut ukhti-ukhti saudariku ini bermanfaat, bisa kalian copast dan memforward ke "pacar" kalian jika anti memang ingin betul-betul bertaubat dari sekarang.
Bismillah..assalamualaikum ya akhi fillah..

Syukur pada Allah yang masih mengkaruniakan nafas padaku dan padamu untuk segera memperbaharui taubat.

Akhi..rasanya aku telah menemukan Kekasih yang jauh lebih baik dan lebih segalanya darimu. Yang Tidak Pernah Mengantuk dan Tidak Pernah Tidur. Yang siap terus menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan denganku disepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apa yang kupinta. Dia yang Bertakhta, Berkuasa dan Memiliki Segalanya.
Maaf akhi, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding dengan Dia. Kau sangat lemah, kecil dan kerdil dihadapanNya. Dia berbuat apa saja sekehendaknya kepadamu..dan akhi, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya cemburu. Aku takut hubungan kita selama ini membuatNya murka. Padahal, Dia Maha Kuasa, Maha Gagah, Maha Perkasa, dan Maha Keras SiksaNya.

Akhi, belum terlambat untuk bertaubat. Apa yang telah kita lakukan selama ini pasti ditanyakan olehNya. Dia bisa marah, akhi. Marah tentang saling pandang memandang yang pernah kita lakukan, marah kerana setitik sentuhan kulit kita yang belum halal itu, marah kerana satu ketika dengan asyiknya aku harus membonceng motormu, marah karena pernah ketetapanNya aku adukan padamu atau tentang lamunanku yang selalu membayangkan-bayangkan wajahmu. Dia bisa marah. Tapi sekali lagi, semua belum terlambat. Kalau kita memutuskan hubungan ini sekarang, karena Dia Maha Memaafkan dan Mengampuni.
Akhi.., Dia Maha Pengampun, Maha Pemberi Maaf, Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang, Maha Bijaksana.
Akhi, jangan marah ya. Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan cintaku hanya padaNya, tidak pada selainNya. Tapi tidak cuma aku, akhi. Kau pun bisa menjadi kekasihNya, kekasih yang amat dicintai dan dimuliakan. Caranya satu, kita harus jauhi semua larangan-laranganNya termasuk dalam soal hubungan kita ini. InsyaAllah. Dia punya rencana yang indah untuk masa depan kita masing-masing. Kalau engkau selalu berusaha menjaga diri dari hal-hal yang dibenciNya, kau pasti akan dipertemukan dengan seorang wanita solehah. Ya, wanita solehah yang pasti jauh lebih baik dari diriku saat ini, seorang wanita yang akan membantumu menjaga agamamu, agar hidupmu senantiasa dalam kerangka mencari ridho Allah dalam ikatan pernikahan yang suci. Inilah doaku untukmu, semoga kaupun mendoakanku, akhi.
Akhi, aku akan segera menghapus namamu dari memori masa lalu yang salah arah ini. Tapi,aku akan tetap menghormatimu sebagai saudaraku dijalan Allah. Ya, saudara dijalan Allah, akhi. Itulah ikatan terbaik. Tidak hanya antara kita berdua, tapi seluruh orang mukmin didunia. Tidak mustahil itulah yang akan mempertemukan kita dengan Rasulullah ditelaganya, lalu beliaupun memberi minum kita dengan air yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Maaf akhi, Tidak baik rasanya aku berlama-lama menulis surat ini. Akutakut ini merusakkan hati. Goresan pena terakhirku disurat ini adalah doa keselamatan dunia dan akhirat sekaligus tanda akhir dari hubungan haram kita ini, insyaAllah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Barakallhufikum, semoga bermanfaat

Wassalam

Senin, 04 Oktober 2010

Tinjauan kekafiran demokrasi.....!!!

Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.

Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:

· Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat

* Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
* Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
* Kebenaran adalah suara terbanyak
* Tuhannya banyak dan beraneka ragam
* Persamaan hak

Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien (agama) padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)

Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja…, akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien.

Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam.


1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat.

Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah/pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar.

Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“…keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf [12]: 40)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)

Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70)

Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)

Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)”

Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…?

Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…?

Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis.

Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14)


2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan

Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.

Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44)

Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu”

Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar…

Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Dia Subhanahu Wa Ta’ala vonis musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi.

Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari syari’at Islam.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. [Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber ; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.

Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [5]: 49)

Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang diturunkan Allah”. Dalam ajaran Demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)

Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan Demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60)

Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)

Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan:

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50)

Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?

Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)


3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat

Demokrasi adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.

Dari itu berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan denganya, padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”.

Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman. Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.

Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.

Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya.

Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah…, namun dien Demokrasi tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya.

Allah dan Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.

Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi…

Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah… bukan kebebasan Tauhid…!


4. Kebenaran adalah suara terbanyak

Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid.

Oleh karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang padahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar.

Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)

Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)

Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)

Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:

“…sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka…” (QS. Al Qashash [28]: 68)

Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah.

Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)

Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)

Mayoritasnya tidak beriman…

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)

Mayoritasnya benci akan kebenaran…

“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)

Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)

Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…

“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)

Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)

Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)

Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbab) dalam agama Demokrasi ; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan.

Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!

“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)

Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal…??!


5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam

Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbab) selain Allah.

Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.

Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…

“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)

Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan).

Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)

Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. [Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah]

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: ”Bab: Orang yang mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan”, maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)”

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.

Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”

Dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen “Agama” RI: “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu”. Ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!!

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21)

Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum/aturan adalah dien.

Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:

“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin “Kalian makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.

Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”

Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…


6. Persamaan Hak

Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)

Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)

Dan ayat-ayat lainnya…

Dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda agar mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walau mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat. Wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin….

*** KARAKTERISTIK DINUL ISLAM ***

*** KARAKTERISTIK DINUL ISLAM ***

1. Bersifat Rabbaniyah.
Yaitu, islam berasal dr Allah, aturan islam adalah menurut konsep dr Allah, dan semuanya akan dikembalikan kepada Allah.

2. Bersifat su'uriyah / universal
islam adalah Rahmah lil alamin, rahmat bg sluruh alam.

3. Al basthah ( mudah )
bhwa Islam adl agama yg mudah. Firman Allah,
' la yukallifullahu nafsan illa wus'aha'

4. At tawazun ( keseimbangan)
islam mengajarkan kita untuk berlaku seimbang,tmasuk dlm mykapi khdupan dunia dan akhirat. Firman Allah,
' wabtaghi fima atakallahu addaral akhirata wa laa tansa nashibaka minad dunya.'

6.al adalah ( keadilan )
syariat Islam itu adil. Jk ada yg mengatakan Islam tdk adil,maka ia perlu mengkaji ulang pengetahuanya ttg islam. Contohnya, dlm mawaris, bag laki2 adl 2x nya bag.perempuan. Laki2 mdpt bag. Lbh byk krn laki2 lah yg btggung jwb atas nafkah keluarganya. Ktk menkah,ia jg harus membayar mahar. Sdg perempuan,ia akan menerima harta berupa mahar dr lelaki yg nanti meminangnya. Mshkah menganggap islam tdk adil? =)

KEBENARAN....!!!!!

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)
Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“…sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka…” (QS. Al Qashash [28]: 68)
Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah.
Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)
Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
Mayoritasnya tidak beriman…
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
Mayoritasnya benci akan kebenaran…
“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)
Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…
“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbab) dalam agama Demokrasi ; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan.
Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!
“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal…??!

5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam
Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbab) selain Allah.
Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.
Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…
“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan).
Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. [Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: ”Bab: Orang yang mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan”, maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)”
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.
Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”
Dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen “Agama” RI: “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu”. Ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!!
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum/aturan adalah dien.
Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:
“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin “Kalian makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.
Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”
Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…

6. Persamaan Hak
Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)
Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)
Dan ayat-ayat lainnya…
Dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda agar mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walau mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat. Wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin….

Laa ilaaha illallaah......!!!!

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du:

Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu:

1. Alihah (Sembahan-sembahan)

2. Arbab (tuhan-tuhan pengatur)

3. Andad (tandingan-tandingan)

4. Thaghut

Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut.

1. Alihah

Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.

Ilah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).

Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan.

Contoh 1:

Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajen, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, “rurujakan” (sebutan salah satu bentuk sesajian dalam masyarakat suku Sunda, ed.), bekakak ayam atau apa saja. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) dan pemberian sesajen ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajen-sesajen pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut, tidak… tentu bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala. Misalnya minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang penunggunya.

Ketika orang tadi melakukan ‘tindakan’ pemberian sesajen pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya adalah tidak benar… bohong!, dengan kata lain orang tersebut belum muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.

Contoh 2:

Pohon besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajen-sesajen). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.

Berarti pohon besar itu dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau bermakna dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.

Contoh 3:

Nyi Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai ‘menuju’ Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut sebagai persembahan kepada Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… Apakah itu? Yaitu tolak bala atau cari manfaat, di antaranya mereka ingin mendapat keselamatan jika sedang melaut, tidak diterpa badai atau kecelakaan lainnya, sekaligus diberi tangkapan ikan yang melimpah.

Maka dalam kasus ini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta laut itu adalah orang-orang musyrik! bukan orang-orang muslim.

Contoh 4:

Sebagian masyarakat ada yang berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi. Petani datang ke sawah dengan membawa kelapa muda atau rurujakan atau terkadang Nasi Tumpeng, lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.

Dewi Sri adalah sesuatu yang dituju oleh petani tersebut dengan suatu hal tadi (sesajen). Apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak ada hama, dst. Berarti Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti orang-orang tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain belum muslim.

Contoh 5:

Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti: memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) agar tidak diganggu oleh jin tersebut.

Berarti jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (yaitu tumbal) dalam rangka tolak bala. Berarti jin ini telah dipertuhankan, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik…! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya.

Contoh 6:

Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut.

Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu. Ada yang minta jodoh kepada penghuni kubur tersebut, bahkan ada yang minta do’anya (sedangkan meminta do’a kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan, telah dijadikan sekutu Allah, dan para pelakunya adalah orang-orang musyrik…

Mereka beralasan bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika orang kotor seperti kami ini minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsung datang kepada penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya… jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah.

Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasaan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaaffaat [37]: 35-36)

Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka… beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam?”, Abu Jahl mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan!!” [sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim]

Mereka (kaum musyrik Quraisy) adalah orang Arab asli, mereka sangat paham kandungan Laa ilaaha illallaah, dan mereka tak perlu diajari artinya, tidak seperti kita. Mereka paham bahwa di antara maknanya adalah sesungguhnya mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karena hal itulah mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan Laa ilaaha illallaah.

Ini adalah yang pertama, alihah: sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…

2. Arbab

Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbab, berlepas diri dari arbab. Apakah arbab…?? Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.

Kita sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah beriman bahwa yang berhak menentukan aturan… hanyalah Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘aalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.

Apakah rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.

Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)

Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis:

1. Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka

2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah

3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah

4. Mereka musyrik

5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai arbab… sebagai Tuhan

Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” dst. Jadi yang ada dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.

Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang), maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!

Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Ayat ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, beliau berkata: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai), kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah), maka kalian ini orang-orang musyrik”.

Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!

Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah:

“…Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)

Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.

Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.

Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.

Maka dari itu tidaklah aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah, mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.

“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Sekarang… kita hubungkan dengan realita: Bukankah kita mengenal sistem demokrasi?! Orang yang ‘berpendidikan’ pasti mengetahui apa makna demokrasi, yaitu pemegang kekuasaan adalah rakyat atau sering pula disebut: dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi pihak yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti.

Sistem demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelum itu, ed). Hal ini terjadi agar terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kezhaliman, kediktatoran, dan sikap otoriter yang mereka lakukan di atas nama tafwidl ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar:

1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.

2. Kebebasan mengeluarkan pendapat

3. Hukum berada di tangan rakyat

4. Melepaskan norma akhlaq dari agama

Dalam masalah ini kita secara khusus mengambil masalah “hukum berada di tangan rakyat”, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).

Mari kita perhatikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu adalah rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum, dengan kata lain bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuat hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini berkumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Sehingga nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa dilihat pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat…penyalur aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.

Jika dalam surat Al An’am 121 di saat satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaithan (arbab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).

Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa arbab-arbab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang… dst. Juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Itu semua adalah arbab-arbab yang ada di Indonesia… Sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa arbab atau para pengaku tuhan maka pahamilah Tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.

Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ sanksi “potong tangan” bagi pencuri muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi: Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti itulah yang ada.

Ketika membuatnya: Mereka (partai-partai “Islam”) mengambil dari Al Qur’an hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada ‘tuhan-tuhan’ yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada arbab-arbab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari ‘bawah’ lalu disodorkan ke ‘atas’, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan arbab…!!! dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat ini atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya…!!

Jadi semua itu adalah hukum arbab. Arbabnya banyak… ada arbab dari PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah arbab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 39-40)

Ayat “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll… dan ayat “yang kalian ibadati” maksudnya adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya. KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang lainnya mereka pula yang membuatnya sendiri lalu mereka juga yang mengibadatinya (mengikutinya).

Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Arbab-arbab itu adalah pengaku tuhan.

Supaya lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget gitu lo!!”, padahal semua itu justeru adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa arbab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh (umpamanya) fraksi lain tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, tapi mereka menggodok undang-undang dan hukum, bukan adonan roti. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (menjadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ke tengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut, jelas bukan: “Sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan: “Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian…!”. Setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen” seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah untuk merubah (misalnya karena ada kepentingan politik partai, ed.), maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!

Jadi, berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya, karena apabila menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut, maka akan dipaksa dan diberi sanksi jika menolak.

Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali Allah yang diulurkan dari sisi-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.

Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para arbab (para pengaku tuhan itu).

Fir’aun mengatakan “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Fir’aun telah ada manusia, bahkan masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya!

Jadi ketika Fir’aun mengatakan hal itu, bukanlah karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.

Apabila telah paham apa yang diucapkan Fir’aun itu, berarti kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati! mereka adalah Fara’inah.

Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang justeru mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak-anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh, maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan ideologi-ideologi kafir di sekolah-sekolah milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila di waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sampai dia dewasa lalu tidak bertaubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya!! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja, sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa barulah dibunuh jasadnya atau dimasukkan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.

Jadi…itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi yang dia maksudkan: “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”

Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]

Jadi, kesimpulannya bahwa arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:

“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)

Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada arbab tersebut

Ini adalah penjelasan tentang arbab yang mana ini adalah bagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.

3. Andad (Tandingan-tandingan)

Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang andad ini:

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)

Andad itu apa…?

Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu dari Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang dari Tauhid atau memalingkan seseorang dari Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi andad.

Jadi sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam atau Tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang dari tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Contoh:

Kita bisa melihat dalam realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat… mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa dalam sistem yang dipakai Pemerintahan ini adalah sistem kafir, sistem syirik, yaitu sistem demokrasi. Perundang-undangannya juga adalah perundang-undangan thaghut. Undang-Undang Dasar atau undang-un

Siapakah org musyrik menurut Allah...????

siapakah org musyrik menurut Allah...
Ikhwani fillah, materi yang akan kita kaji sekarang adalah tentang penamaan musyrik. Siapakah yang disebut orang musyrik itu? Kapan seseorang dikatakan musyrik? Apakah ada kaitan antara penamaan musyrik dengan tegaknya hujjah? Apakah pelaku syirik akbar yang jahil bisa dikatakan musyrik? Mari kita mengkajinya dengan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ijma dan pernyataan para ulama dakwah Tauhid.

Syirik adalah lawan Tauhid, maka tidak ada Tauhid bila syirik terdapat pada diri seseorang. Orang yang berbuat syirik akbar dengan sengaja tanpa ada unsur paksaan maka dia itu musyrik, baik laki-laki atau perempuan, baik mengaku Islam atau tidak, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:



Dalil dari Kitabullah (Al-Qur’an):

“Dan bila ada satu orang dari kalangan orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka berilah dia perlindungan sampai dia mendengar firman Allah.” (At Taubah: 6).

Dalam ayat ini Allah menamakan pelaku syirik sebagai orang musyrik, meskipun dia belum mendengar firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan pelaku syirik yang telah mendengar firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, dia membaca Al Qur’an dan terjemahannya. Bahkan mungkin juga menghafalnya.

Bila ada yang mengatakan: “Ayat itu berkenaan dengan para penyembah berhala, tapi kenapa kamu terapkan kepada orang yang mengaku Islam hanya karena dia melakukan syirik akbar, sedangkan dia shalat, zakat, shaum dan melakukan ibadah lainnya?”

Jawaban: Silakan rujuk kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah supaya lebih jelas.

“Tidak selayaknya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun mereka itu kerabat dekat.” (At Taubah: 113).

Ayat ini berkenaan dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam saat meminta izin kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala untuk memintakan ampunan bagi ibunya yang meninggal sebelum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus, dan meninggal di atas ajaran kaumnya yang syirik. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menggolongkan ibunda beliau dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu dalam kebodohan, belum ada dakwah dan hujjah risaliyyah (saat itu terjadi kekosongan dakwah, ed.). Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar yang mengaku Islam, padahal hujjah ada di sekeliling mereka dan Al Qur’an mereka baca bahkan mereka hafal…?

Kalau ada yang berkata: “Kenapa orang yang mengaku Islam dan rajin beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, tapi dia berbuat syirik akbar karena kebodohannya dikatakan musyrik?”

Jawab: Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang diperintahkan bukan ibadah kepada Allah, tapi beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, yaitu memurnikan ketundukan hanya kepada-Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (An Nisaa: 36).

Saya bertanya: “Apakah orang yang meminta kepada yang sudah mati itu disebut menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau tidak? Apakah yang ikut dalam sistem demokrasi itu menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau tidak?”

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh dien (ketundukan) hanya kepada-Nya, lagi mereka itu hanif….” (Al Bayyinah: 5).

Saya bertanya: “Apakah orang yang menyandarkan hak hukum kepada rakyat atau wakil-wakilnya itu telah memurnikan dien (ketundukan) seluruhnya kepada Allah atau sebaliknya? Padahal hukum adalah dien”:

“….Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus….” (Yusuf: 40)

“…Dia (Yusuf) tidak mungkin membawa saudaranya pada dien (UU/Hukum) raja itu….” (Yusuf: 76).

Orang yang di samping beribadah kepada Allah juga beribadah kepada yang lainnya, sesungguhnya dia itu tidak dianggap beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

“Katakanlah: “Wahai orang-orang kafir, aku tidak beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati.” (Al Kaafiruun: 1-2).

Dalam surat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk menyatakan: “Saya tidak akan beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati, wahai orang-orang kafir Quraisy… !!!”, padahal di antara tuhan yang mereka ibadati itu adalah Allah ! Apakah ini berarti Rasulullah tidak akan beribadah kepada Allah juga? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa peribadatan mereka kepada Allah itu tidak dianggap, karena mereka juga beribadah kepada yang lain-Nya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits shahih: “Hak atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.”

Jadi penafian syirik adalah syarat dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa. Maka dari itu Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa: “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya…”. (Thariq Al Hijratain, Thabaqah yang ke-17).

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para ulama dan para rahib (ahli ibadah) mereka sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah dan juga Al Masih Ibnu Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk ibadah kepada Ilah yang satu, tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Dia, Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.” (At Taubah: 31).

Dalam ayat ini Allah memvonis orang-orang Nashrani sebagai orang-orang musyrik, padahal mereka tidak mengetahui bahwa sikap mereka mengikuti ‘ulama dan rahib dalam aturan yang bertentangan dengan aturan Allah itu adalah bentuk ibadah kepada ‘ulama dan rahib itu, sebagaimana yang Rasulullah jelaskan dalam hadits hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu. Maka begitu juga para pejabat dan aparat keamanan di negeri demokrasi, yang mana mereka itu dengan sigap berkomitmen dengan UU yang digulirkan oleh thaghut-thaghut mereka.

Kandungan yang tadi saya sebutkan tentang ayat ini telah dikabarkan oleh Al ‘Allamah ‘Abdullah Ibnu ‘Abdirrahman Aba Buthain dalam Risalah Al Intishar Li Hizbillah Al Muwahhidun.

“Orang-orang yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sehingga datang kepada mereka bayyinah, yaitu utusan dari Allah yang membaca lembaran-lembaran yang disucikan.” (Al Bayyinah: 1-2).

Perhatikanlah, dikarenakan mereka berbuat syirik akbar, maka mereka dinamakan kaum musyrikin, meskipun rasul belum datang kepada mereka. Apa gerangan dengan pelaku syirik masa sekarang, Rasul telah datang, Al Qur’an ada di rumah mereka, bahkan sebagian mengaku sebagai ‘ulama dan ahli Islam ? Tidak ragu lagi –jika mereka berbuat syirik akbar- mereka itu adalah kaum musyrikin, baik dia ustadz, kyai, ‘ulama atau cendekiawan atau orang umum, karena syirik dan status musyrik tidak mengenal status atau jabatan.

Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil ‘Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Siapa yang memalingkan satu macam dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, baik dia itu ahli ibadah atau orang fasiq, dan sama saja (apakah) tujuannya baik atau buruk.” (Ad Durar As Saniyyah 9/270).

Syaikh Muhammad rahimahullah berkata kepada hakim agung Riyadh yang bernama Sulaiman Ibnu Suhaim: “Tapi kamu adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik.” Lihat Risalah kepadanya dalam Tarikh Nejd.

Sebenarnya masih banyak ayat-ayat yang memvonis pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik, padahal hujjah risaliyyah belum tegak.

Saat membaca ayat-ayat tentang kaum musyrikin kebanyakan orang hanya menafsirkannya dengan orang-orang musyrik Arab dan jarang ada orang yang mau menafsirkan seraya menghubungkannya dengan realita masyarakat di sekelilingnya, maka dari itu banyak yang jatuh kepada kemusyrikan tanpa disadari.

Umar Ibnul Khaththab radliyallaahu ‘anhu berkata: “Orang-orang itu telah lalu, dan tidak dimaksud oleh dalil itu kecuali kalian.”

Beliau berkata lagi: “Ikatan-ikatan Islam ini lepas satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengenal jahiliyyah.”



Dalil-dalil dari As Sunnah:

Dahulu ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ayahnya yang meninggal pada zaman fatrah (zaman ketika tidak ada dakwah) di atas ajaran syirik, maka Rasulullah menjawab: “Ayahmu di neraka”, mendengar jawaban itu si laki-laki mukanya merah, dan ketika dia berpaling, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan mengatakan kepadanya: “Ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim).

Ayah Rasulullah ~’Abdullah~ meninggal pada zaman jahiliyyah, saat tidak ada dakwah dan tidak ada hujjah risaliyyah, meninggal di atas ajaran syirik kaumnya. Rasulullah bukan hanya menetapkan status nama di dunia, tapi juga langsung hukum pasti bagi ayahnya di akhirat kelak, berupa api neraka. Dari hadits ini Imam Nawawiy rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berbuat syirik akbar, baik zaman fatrah atau bukan, baik ada dakwah atau tidak, dia itu adalah calon penghuni neraka.

Sebagian ‘ulama yang lain sepakat dengan penamaan status musyrik di dunia, namun masalah akhirat adalah lain. Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar masa sekarang, karena Rasulullah sudah diutus, dakwah ada, hujjah beraneka ragam bentuknya, dan Al Qur’an dilantunkan di masjid-masjid, sungguh mereka itu adalah orang-orang musyrik bukan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang meminta ke kuburan keramat, ada yang membuat tumbal, sesajen, dan ada pula yang menyandarkan wewenang hukum kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa. Mereka adalah kaum musyrikin tanpa diragukan lagi.

Ada rombongan dari Banu Al Muntafiq, mereka bertanya tentang ayah mereka Al Muntafiq yang meninggal pada zaman fatrah. Rasulullah menjelaskan bahwa dia itu di neraka, kemudian beliau menyatakan: “Demi Allah, kamu tidak melewati satu kuburan pun dari orang ‘Amiriy atau Quraisy dari kalangan orang musyrik, maka katakan: “Saya diutus kepada kalian oleh Muhammad untuk memberi kabar bahwa kalian digusur di dalam api neraka.” (Shahih, riwayat Al Imam Ahmad).

Dalam hadits ini orang yang meninggal di atas syirik dari kalangan Ahlul Fatrah disebut musyrik. Apa halnya dengan zaman bukan fatrah?

Apa faidah kalian membela-bela para pelaku syirik akbar wahai salafiyyun maz’uum? Kalian tidak tegakkan hujjah atas mereka, kalian bela mereka dan kalian akrab bercengkerama dengannya. Sementara kaum muwahhidin yang bara’ dari syirik dan para pelakunya serta telah menegakkan hujjah atas mereka, kalian justeru memusuhinya dan membencinya. Inikah ciri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau justeru ini ciri Ahlul Bid’ah Wadldlalalah?. Inikah manhaj As Salaf Ash Shalih yang kalian klaim atau justeru ciri Khawarij Azariqah yang kalian tuduhkan kepada kami wahai maz’uum?

Ijma Para ‘Ulama:

Para ulama ijma bahwa orang yang berbuat syirik akbar itu dinamakan musyrik. Hal yang menjadi perdebatan di antara mereka hanyalah masalah ‘adzab di akhirat bagi yang belum tegak hujjah risaliyyah atasnya. Adapun masalah nama di dunia mereka sepakat bahwa ia adalah musyrik. Sehingga mereka sepakat bahwa status anak orang musyrik di dunia adalah musyrik, namun perbedaan di antara mereka hanya dalam masalah status akhirat, dia ke surga atau ke neraka. Di dunia tentang nama sepakat, sehingga anak-anak orang musyrik dijadikan budak, sedangkan orang muslim itu tidak bisa dijadikan budak di awalnya.

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Para ulama ijma bahwa orang yang memalingkan satu macam dari 2 do’a (do’a ibadah dan do’a permintaan) kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, meskipun mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, shalat, dan mengaku muslim.” (Ibthal At Tandid).

Bila banyak orang yang berbuat syirik akbar namun dia masih rajin shalat, dsb, padahal sebenarnya dia tahu bahwa orang musyrik itu amalannya tak berarti, kekal di neraka bila mati di atasnya, serta tidak diampuni. Itu terjadi tak lain karena dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan itu perbuatan syirik atau tidak tahu bahwa dirinya musyrik, namun demikian para ulama sepakat bahwa orang jahil itu adalah musyrik.

Para ‘ulama juga ijma bahwa hal paling pertama yang diserukan semua Rasul adalah ajakan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan penanggalan syirik yang mereka lakukan. Para rasul itu mengkhithabi kaumnya atas dasar mereka itu adalah orang-orang musyrik. Umat para Rasul itu adalah musyrikin saat sebelum menerima dakwahnya. Azar ayah Ibrahim adalah musyrik sebelum Ibrahim diutus, Abdul Muththalib juga berstatus musyrik.

Bahkan para ‘ulama menjelaskan bahwa nama musyrik itu ada sebelum adanya Risalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Nama musyrik itu sudah ada sebelum risalah, karena dia (pelakunya) menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan mengangkat tuhan-tuhan lain bersama-Nya.” (Majmu Al Fatawa: 20/38).

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menjelaskan para pelaku syirik yang mengaku muslim: “Maka macam orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami vonis mereka itu sebagai orang-orang musyrik, dan kami memandang kekafiran mereka bila hujjah risaliyyah telah tegak atas mereka.” (Ad Durar 1/322 cet. lama).

Pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah dinamakan musyrik, sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik kafir. Bila antum tidak mengenal (istilah) ini, maka bisa jatuh ke dalam kekeliruan yang luar biasa fatalnya, seperti yang dialami kalangan salafiy maz’uum dewasa ini.

Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar dan putra-putra Syaikh Muhamamd Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang para pelaku syirik yang mengaku Islam yang belum tersentuh dakwah tauhid: “Bila dia melakukan kemusyrikan dan kekafiran karena kebodohan dan tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir hingga hujjah risaliyyah ditegakkan atasnya, namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang muslim.” (Ad Durar).

Dia bukan orang kafir karena belum tegak hujjah risaliyyah, dan dia bukan muslim karena melakukan syirik akbar, tapi dia musyrik. Semoga antum faham istilah ini.

Orang yang tidak memahami istilah ini dari kalangan salafiyyun maz’uum di negeri ini, maka mereka ngawur dalam memahami maksud perkataan para ‘ulama dakwah Tauhid. Mereka kira bahwa jika bukan kafir artinya dia itu muslim. Ini salah besar yang bersumber dari ketidakfahaman akan hakikat Al Islam.

Saat mereka mendapatkan pernyataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah bahwa, “Bagaimana kami mengkafirkan orang jahil yang menyembah Qubbah Kawwaz…” mereka langsung meloncat girang seraya mengatakan bahwa pelaku syirik akbar yang jahil itu tidak kafir, tapi muslim sebagaimana perkataan Syaikh tadi.

Alangkah dungunya mereka itu, mereka tak ubahnya bagaikan lalat yang tidak mau hinggap kecuali pada benda kotor, sedang yang bersih dijauhinya. Begitu juga mereka hanya mencari ucapan-ucapan yang samar dan meninggalkan ucapan-ucapannya yang jelas yang berlandaskan Al Kitab dan As Sunnah serta Ijma.

Jarimah mereka itu tidak cukup disitu, tapi mereka menambahnya. Mereka mengambil perkataan Syaikh Muhammad tentang Ahlul Fatrah atau yang belum tersentuh dakwah yang mereka fahami secara keliru itu, terus mereka menerapkannya kepada orang-orang musyrik sekarang di saat hujjah bertebaran dimana-mana bahkan orang musyrik itu sendiri memiliki andil dalam penyebaran hujjah itu.

Bahkan bukan sekedar orang musyrik yang mereka bela, tapi tak kepalang tanggung para thaghut pun ikut mendapatkan pembelaan mereka yang penuh ikhlash tanpa diminta.

Tidaklah aneh bila mereka seperti itu, terbukti saat penulis bertanya kepada salah seorang Syaikh ‘Salafiy’ Maz’uum ~yang pernah mereka datangkan untuk menjegal dakwah ini~: “Apakah para penyembah kuburan yang bodoh (jahil) itu musyrikun atau muwahhidun?” Dia diam sejenak terus menjawab: “Ya ada yang mengatakan mereka itu muwahhidun.”

Kalau antum ingin mengetahui siapa orangnya yang mengatakan mereka itu muwahhidun (maksudnya muslimun), ketahuilah dia adalah Dawud Ibnu Jirjis Al Iraqi, salah seorang musuh dakwah Tauhid. Silakan rujuk Minhaj At Ta’sis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis karya Syaikh ‘Abdullathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh. (Ternyata pada zaman ini diikuti oleh Syaikh ‘Salafiy’ yang disebutkan tadi, ed.)

Syaikh ‘Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Orang yang berbuat syirik itu musyrik, baik mau atau tidak (dengan nama itu).” (Al Intishar).

Demikianlah sekilas pembahasan tentang penamaan musyrik bagi pelaku syirik akbar. Semoga antum sekalian memahaminya dan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa membukakan dengan kunci ini ilmu-ilmu Tauhid lainnya. Jangan lupa doakan kami dan keluarga agar diberikan kebaikan di dunia dan akhirat. Serta kami tidak akan lupa berdoa semoga kita dikuatkan di atas Tauhid ini sampai ruh meninggalkan jasad kita ini.

Aamin yaa Rabbal ‘Aalamiin…

dakwah para rasul kufur kpd thoquth.....!!!!

dakwah para rasul kufur kpd thoquth.....!!!!

PERTAMA: Kufur Kepada Thaghut

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut” (An Nahl: 36)

Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah Ta’ala berfirman:

“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (Al Baqarah: 256)

Bila seseorang beribadah dengan menunaikan shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.

Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:

1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah

2. Engkau meninggalkannya,

3. Engkau membencinya,

4. Engkau mengkafirkan pelakunya,

5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah: 4)

Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.

Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firmanNya Ta’ala:

“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin: 60)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah diantara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.

Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am: 162-163)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”. Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.

Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (Al An’am: 136)

Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.

Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

“…(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf: 40)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum, kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya:

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am: 121)

Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar berkata): “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” (HR. Hakim)

Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:

- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib

- Mereka telah beribadah kepada selain Allah

- Mereka telah musyrik

Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.

Dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat itu di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” (HR. At Tirmidzi)

Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim.

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas:

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman: 30)

Juga firmanNya Ta’ala:

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj: 62)

2. Engkau meninggalkannya

Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Mashlahat Dakwah’ lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’

Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf: 26-27)

Juga firmanNya Ta’ala tentang Ibrahim ‘alaihissalam.:

“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam: 48)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah: 1/323, & Minhajut Ta’sis: 61).

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” (Ad Durar As Saniyyah: 2/545). Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” (Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid).

Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firmanNya: “Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepadaNya” (Al Bayyinah: 5). Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.

Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).

Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)” (Kitab Taisir)

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Para ‘ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid: 76).

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”

Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.

3. Engkau Membencinya

Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam.:

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf: 26)

Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”

Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (An Nisa: 140)

Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.

Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.

Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang diantara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” (Riwayat para penyusun As Sunan/Ashhabus Sunan) dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya seraya pergi darinya.

Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.

4. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya:

“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan diantara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar: 3)

Dan firmanNya Ta’ala:

“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (Al Mu’minun: 117)

Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, diantaranya adalah firmanNya:

“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (Az Zumar: 8)

Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)

Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”, maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati” (Ad Durar As Saniyyah: 291)

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam)

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam – Majmu’ah Tauhid)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhallam: 28). Beliau berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yang tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan RasulNya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam: 29)

Para imam dakwah Nejd berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ‘ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan Neo Murji-ah. Orang yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin” (Mishbahuzh Zhallam: 72)

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya maka dia kafir juga.

Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat di belakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara mu’ayyan.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah: 10/53)

Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: “Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah: 10/92)

5. Engkau Memusuhi Mereka

Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alaihissalam. Dan para nabi yang bersamanya:

“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah: 4)

Dan firmanNya Ta’ala:

“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujaadilah: 22)

Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…” (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid: 21)

Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) diantara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah: 51)

Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah: 5)

Demikianlah tata cara kufur kepada thaghut.

KE DUA: Iman Kepada Allah

Adapun makna iman kepada Allah adalah:

1. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi

2. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah

3. Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah

4. Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid

5. Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati

Orang yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta memegang sistem demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum adat.

Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas: 1)

Dan firmanNya Ta’ala:

“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (An Nahl: 51)

Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudah mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai C dan seterusnya. Para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.

2. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan memerintahkan ibadah kepadaNya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya orang hanya ibadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firmanNya:

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepadaNya” (Al Bayyinah: 5)

Juga firmanNya Ta’ala:

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (Luqman: 22)

Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia Ta’ala berfirman:

“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah bersedih” (Al Baqarah: 112)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubbadul qubur yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selainNya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis)

‘Ubbadul qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb. Tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali. Maka ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.

Syaikh Ali Khudlair, di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa diantara golongan yang termasuk ‘ubbadul qubur adalah: “Para penguasa thaghut, para budaknya (aparat keamanan), para pengusung undang-undang buatan, kaum demokrat dan yang lainnya”.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun denganNya” (hadits shahih dari Mu’adz)

Orang yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur atau ikut serta dalam demokrasi, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada Allah (dia bukan muslim). Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah: 11/545)

Perkataan seseorang: ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah apa yang terpatri di dalam hati dan di benarkan dengan amalan”

3. Menafikan ibadah itu dari selain Allah

Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir: “Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (Al Kaafirun: 2).

4. Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid

Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Al Hujurat: 10)

Dan firmanNya dalam ayat yang lain:

“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (At Taubah: 71)

Oleh sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.

5. Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka

Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semuanya yang harus kita ikuti:

“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah: 4)

Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.

Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri. Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Tidak tegak keIslaman sesorang meskipun dia tidak beribadah kecuali kepada Allah, kecuali dengan cara memusuhi para pelaku syirik’

Raihlah iman dengan cara memusuhi para pelaku syirik.